Target Sumbar – Melanjutkan pemberitaan sebelumnya bahwa perjuangan Aleta Baun atau yang akrab disapa mama Aleta dalam mempertahankan ke asrian lingkungan negerinya dari tangan-tangan rakus perusahaan tambang, mendapatkan apresiasi hingga ke mancanegara. Hal itu dibuktikannya dengan mendapatkan penghargaan langsung di San Fransisco, California, Amerika Serikat.
Setelah perusahaan tambang hengkang dari negerinya berkat perjuangan beratnya tersebut, Mama Aleta bersama berbagai komunitas di seluruh wilayah Timor Barat memetakan hutan adat mereka. Ini untuk melindungi tanah-tanah adat dari jamahan tangan-tangan perusak di masa depan. Mama Aleta juga memimpin berbagai usaha untuk menciptakan berbagai peluang ekonomi baik dengan pertanian ramah lingkungan dan bertenun. Pada Maret 2013 lalu, kelompok-kelompok tenun ini menemukan ‘resep’ baru warna alami dari beragam tumbuhan.
Untuk mengetahui kisah perempuan pejuang lingkungan ini, menjelang penerimaan penghargaan dan awal April 2013, di sela-sela acara Meet the Makers di Jakarta. Berikut petikannya.
Wartawan: Dapatkah anda kisahkan bagaimana perjuangan anda bersama warga dalam menolak tambang?
Mama Aleta: Sejak 1980-an, pemerintah mengeluarkan izin-izin tambang batu marmer di Molo. Warga tidak tahu. Perusahaan masuk hutan, tebang pohon. Bencana datang, tanah longsor, sampai pencemaran air. Perusahaan terus membabat hutan dan memotong batu marmer dari gunung. Ini ancaman bagi kami, karena dari sana kami hidup dan kami hidup dari alam.
Mulai tahun 1999, beberapa orang perempuan dan saya memutuskan untuk melawan serta bertindak menghentikan penambangan. Waktu itu, kami merasa bahwa satu-satunya cara untuk membangun kekuatan adalah dengan mendatangi dari satu rumah ke rumah lainnya, Dari satu desa ke desa lain dan menjangkau sebanyak mungkin orang untuk menyampaikan pesan kami.
Rumah-rumah dan desa-desa terletak berjauhan. Kadang kami harus berjalan enam jam untuk mencapai desa satu ke desa lain. Kami meyakinkan orang-orang untuk bergabung. Kami ingatkan mereka akan keyakinan kami tidak akan dapat hidup tanpa semua unsur-unsur dari alam. Kami juga menekankan pada para perempuan bahwa hutan menganugerahi kami dengan zat-zat pewarna tenun, lingkungan yang sehat dan dapat terhindar dari bencana longsor. Ini bagian penting dalam hidup kami.
Perjuangan berat yang kami lakukan dihadapi dengan berbagai intimidasi dan kekerasan. Namun, gerakan terus dijalani hingga ratusan warga desa ikut mendukung. Akhirnya sampailah pada aksi pendudukan di lokasi tambang sambil menenun dengan jumlah sekitar 150 orang perempuan. dilakukan sekitar satu tahun di lokasi penambangan marmer tersebut. Perempuan punya alat-alat tenun, kapas dan pewarna dari alam. Kami pun protes dengan menenun pakaian tradisional. Hutan kami tak boleh dirusak. Kalau rusak, perempuan tak bisa beraktivitas. Itu tempat kami cari makanan, bikin pewarna benang sampai obat-obatan. Jadi harus kami pertahankan. Jelas mama Aleta. Bersambung (**)