Judul “Nagari Bajanjang Ameh, Dari Atas Trotoar Terlihat Keserakahan” By: Putra Sikayan Mansek Karang Putih
Getaran blasting membuat aku terkejut disetiap waktunya. Gemuruh keserakahan eskavator, bulldozer serta truk- truk raksasa membawa pergi emas dari bukit kapur karang putih milik leluhurku, menjadikannya tembok angkuh tidak tersentuh.
Aku terdiam, aku ketakutan dan aku kedinginan takkala rahmat Tuhan menghujam negeriku. Akar penghisap dan pembalut bumi itu kini telah mati, bendungan antisipasi diatas kampung negeriku siap mengirimkan peti- peti mati. tidak adalagi tempat kami berlindung dan bernaung, hanya menunggu kepastian Tuhan, menjemput kami.
Dikala senja menjelma, aku berdiri diatas trotoar jalan milik mereka para pembeli negeri kami. jalan yang telah membendung negeriku hingga suatu saat nanti kami tidak mampu lagi berdiri, berlari dan mati dalam kepungan banjir bandang yang telah pernah meluluh lantakan negeri kami.
Dari atas trotoar, keserakahan ini tatapan ku menjadi melayang. Kampung yang dulu indah karena hijaunya hamparan sawah, menuai harapan dan kebahagian untuk para generasi negeri. Gelak tawa saudara- saudaraku dulu riang sembari bermain layangan, cengkrama para ibu ibu negeri sembari mengantar bekal ke ladang masih mengiang ditelingaku.
Namun kini, dari atas trotoar keserakahan ini, aku melihat tidak ada lagi sela untuk sebatang padi, semua telah menjadi datar dan membatu, semuanya dipaksa diam dan membisu.
Dari atas trotoar jalan keserakahan ini, lidahku menjadi kelu. Masih adakah waktu untukku, melihat wajah orang tuaku, wajah kakak dan adikku, wajah saudara anak dan teman- temanku.
Dari atas trotoar jalan keserakahan ini aku akan tetap berdo’a, semoga surya yang hampir senja di kampungku sikayan Mansek ini, selalu akan dikenang bagi setiap orang. (Red)