MELAWAN ARUS (episode-03) [ Harga Diri ]
By : Budi Gunawan
Berita tersebut memutar otakku lebih keras lagi. Sementara di samping kanan, wajah bengong Willy membuat pikiranku semakin guyar. Pandangan semu Akmal seakan menyebutkan dirinya begitu khawatir.
Melihat Willy mencongkel upil, hal itu merangsang pikiranku menemukan sesuatu ide. Semakin dalam congkelan itu semakin kuat imajinasi ide yang kutemukan. Aku melihat sebuah ilustrasi kesusahan dibalik itu. “Aku punya strategi baru bang”. Kedua pria langka itu tersentak mendengarnya.
“KEMISKINAN!!”…
“Ya..!! Kemiskinan. Tampaknya kita harus lebih bisa menyorot kemiskinan di sana. Selain dari kesusahan hidup Bundo, mengapa tidak kita liput atau kita sorot kehidupan susah masyarakat lain yang ada di sana? Kuberikan ide dengan semangat.
Menurutku, kemiskinan di sekitaran perusahaan besar adalah sebuah persoalan. Karena berdasarkan apa yang kubaca, Corporate Social Responsibility (CSR) tidak boleh membiarkan itu terjadi. Dan itu harus dibantudan diatasi.
“Permisi…bolehkah aku berkata jujur”. Ungkap Willy seperti ingin berpendapat. “Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan ini”. Katanya ingin tahu.
Akmal langsung menangkap pertanyaan itu, setahuku, dia sangat kagum dengan adiku sebelumnya. Keberanian Willy menjadi suatu nilai tersendiri baginya.
Aku masuk ke dalam rumah untuk mandi. Sedangkan kedua pria itu kubiarkan bercengkrama berdua di terasku yang sepi, tanpa harus takut terjadi gejolak asmara diantara mereka. Akmal menceritakan kronologisnya dari awal.
“Kok selama ini abang ga pernah cerita soal kasus ini?”, pertanyaan tiba-tiba terlontar dari mulut Willy saat aku kembali duduk di teras sehabis mandi.
“Aku tidak menemukan adanya unsur prostitusi di dalam kasus ini Will. Apalagi asusila”. Kataku dengan singkat. “Bagiku, unsur prostitusi dari kasus ini adalah pola pikir mereka yang seperti pelacur intelektual. Melayani kepentingan penguasa semata, tanpa menghiraukan ada yang terinjak”, sambutku.
Kemudian, Willy tetap dengan kebiasaan protesnya yang sudah ada sewaktu masih dalam kandungan. Normalnya orang lahir Sembilan bulan, tetapi dia terpaksa dilahirkan pada waktu kandungan ibunya berumur tujuh bulan.
Intinya, dia ingin diajak bergabung dalam perjuangan ini. Reaksi senang terlihat dari muka Akmal, saat itu.
Esoknya kartu PERS Minangnews.coid sudah didapatkan adiku. Ia langsung menuju lokasi sekitaran perusahaan di Bukit Karang itu. Tujuanya hanyalah mencari data dan meliput orang miskin di sana. Berita demi beritapun muncul seputar kisah kemiskinan di sana. Adiku terlihat semangat sekali menekuni pekerjaan ini. Setiap minggu selalu ada dokumentasi kemiskinan yang ia dapat ditambah foto-foto binatang kawin koleksinya.
Ada satu berita yang menonjol. Infomrasi tentang penderitaan ibu Yunita yang tinggal di gubuk dekat hutan di dalam area pertambangan perusahaan itu. Hasil petikan buah pepohonan di sana berkurang. Karena menurutnya, hal itu terjadi semenjak ada getaran proses penambangan menggunakan dinamit.
Selain itu, lebih parahnya lagi ternyata pemandangan yang lebih tragis…
Bersambung…….Edisi 5