TD – Hanya kepada Julia, Winston Smith dapat mengungkapkan semua pikirannya. Julia adalah kebahagiaan satu-satunya bagi Smith. Namun, kebahagiaan itu dirampas negara ketika akhirnya hubungan mereka terbongkar oleh mata-mata partai penguasa.
Keduanya ditangkap atas tuduhan bahwa kebahagiaan dan kebebasan yang mereka alami tidak sejalan dengan visi dunia Big Brother, otoritas tunggal yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat di negara tersebut. Kemudian Smith dan Julia dipaksa menjalani proses indoktrinasi kembali agar pikiran mereka ‘tidak jahat’.
Bagi negara, berbeda pikiran sama dengan berlaku jahat. Maka 2+2 tidak mesti menjadi 4 jika penguasa menghendaki 5 adalah jawaban yang benar. Doktrin Big Brother terus diulang-ulang: perang adalah damai, kebebasan adalah perbudakan, kebodohan adalah kekuatan.
Di belahan dunia lain, katakanlah demikian, seorang bernama Bernard sejak kecil merasakan bahwa ada yang salah dengan cara hidup ia dan semua orang di negeri itu. Namun bagi semua orang lain, justru hidup Bernard itu sendirilah yang salah. Berbeda dari masyarakat yang berpacu meningkatkan prestasi dan produktivitas, Bernard adalah individu yang depresif.
Bernard tidak sendiri. Ia bertemu Hemholtz, seorang ilmuwan berkarier gemilang tapi tidak bahagia. Hidup di negeri itu membuat kecerdasannya menjadi sia-sia, sebab dibatasi oleh penguasa yang tak menghendaki perkembangan berbagai bidang kehidupan.
Keduanya bertemu dan sama-sama merasa terasing dari masyarakat. Singkat cerita, mereka lalu bertemu dengan John “The Savage” yang berasal dari negeri yang berbeda. John melontarkan pertanyaan ke segala arah. Ia mempertanyakan ulang arti keberadaan semua orang di negeri utopia itu.
Cuplikan kisah di atas berasal dari novel 1984 karangan George Orwell dan Brave New World karangan Aldous Huxley. Lalu apa hubungannya dengan Xi Jinping dan China?
Katanya, kisah dari kedua buku itu sempat jadi pembicaraan publik China ketika muncul wacana bahwa Xi Jinping akan menjadi penguasa tunggal China sampai waktu yang tak dapat ditentukan.
Fenomena itu mirip dengan yang terjadi ketika Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS. Saat itu secara mengejutkan kegairahan membaca novel klasik 1984 meningkat, sehingga novel tersebut banyak terjual di berbagai toko buku dan sempat memperoleh gelar best-seller.
Publik China memang tengah ramai membicarakan usulan penghapusan batas masa jabatan presiden sejak Komite Sentral Partai Komunis China (PKC) mengajukannya pada Minggu (25/2). Dalam konstitusi China saat ini, masa jabatan presiden dibatasi dua periode pemilihan atau 10 tahun.
Usulan itu kemudian akan dibahas dalam Kongres Nasional China pada 5 Maret 2018. Sangat mungkin usulan tersebut akan diterima. Karena dalam kongres-kongres sebelumnya, diterima pula pandangan politik Jinping yang diinjeksikan ke dalam konstitusi. Masa jabatan tanpa batas waktu itu juga akan berlaku bagi wakil presiden.
Dominasi kekuatan Jinping dalam partai memang sudah diperjelas dalam Kongres PKC pada Oktober 2017. Selama masih hidup dan sehat, ia merupakan tokoh yang akan mendominasi partai.
Perlu diingat bahwa di China, urusan negara adalah juga urusan PKC dan begitu pula sebaliknya. Maka menguasai salah satu berarti juga menguasai keduanya.
Empat bulan setelah kongres PKC untuk mengukur tenggat masa jabatan Jinping itu–apakah ia akan menjabat hanya satu periode atau lebih–kini hasil pengukurannya mungkin sudah di depan mata: Jinping akan menjabat sebagai Presiden China untuk periode kedua hingga 2023 dan mungkin tanpa periode alias hanya Tuhan yang tahu.
Dalam sejarah modern China, Mao Zedong merupakan satu-satunya presiden yang pernah menjabat tanpa tenggat waktu. Ketika Mao Zedong mangkat pada 1976 dan kekuasaannya berakhir, konstitusi China terkait masa jabatan presiden pun diubah.
Upaya itu dimulai pada 1970-an di bawah pemimpin tertinggi China saat itu, Deng Xiaoping, yang mengawali era ‘reformasi dan keterbukaan’ China.
Salah satu hasil reformasi itu ialah Konstitusi 1982, yang menyebut bahwa presiden “akan mengabdi tidak lebih dari dua periode berturut-turut”. Maka ketika Jinping ingin mengganti konstitusi tersebut, ia dianggap tengah mengkhianati reformasi dan mengulang kembali otoritas kekuasaan versi Mao Zedong–termasuk mengaburkan batas antara partai dan negara.
Ketika Jinping ingin mengganti konstitusi tersebut, ia dianggap tengah mengkhianati reformasi dan mengulang kembali otoritas kekuasaan versi Mao Zedong—termasuk mengaburkan batas antara partai dan negara.
Berdasarkan tanggal yang tercantum dalam proposal konstitusi yang dikeluarkan Komite Sentral PKC, usulan amandemen konstitusi itu diperkirakan telah dibuat pada 26 Januari. Namun, diketahui bahwa panitia amandemen konstitusi itu telah mengadakan pertemuan pada 18 dan 19 Januari untuk membahasnya.
Sehingga ada kemungkinan usulan itu sudah dibuat sejak 19 Januari. Pertemuan semacam itu diadakan di balik pintu tertutup alias diam-diam, tanpa melalui konsensus. Kerahasiaannya hampir sama seperti yang terjadi di masa Mao Zedong.
Keinginan Jinping untuk berkuasa lebih lama dengan menabrak aturan konstitusi soal batas waktu itu akan tercermin melalui penunjukkan wakil presiden dan gubernur bank sentral dalam Kongres Nasional Rakyat pada 5 Maret.
Orang-orang yang dekat dengan kalangan pembuat kebijakan China mengatakan, kemungkinan besar Wang Qishan akan ditunjuk sebagai wakil presiden. Mantan kepala kampanye antikorupsi yang baru saja pensiun itu juga akan diberi tanggung jawab khusus untuk hubungan China dengan AS.
Padahal usia Qishan sudah 69, sementara tradisi partai tidak memperbolehkan orang di atas usia 68 tahun menduduki jabatan untuk masa 5 tahun.
Sementara muncul dugaan, jabatan gubernur bank sentral yang kini diduduki oleh Zhou Xiaochuan akan digantikan oleh Liu He. Liu He saat ini menduduki jabatan kepala komisi yang mengawasi badan pengatur keuangan China, termasuk bank sentral.
Baik Qishan maupun He adalah dua orang anggota Politbiro PKC yang merupakan bagian dari 25 pejabat paling berkuasa di partai tersebut.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lu Kang, dalam sebuah konferensi pers menyampaikan, fondasi dasar Konstitusi China “adalah perbaikan terus-menerus dengan pengembangan praktik membangun sosialisme berdasarkan karakteristik China.”
Jargon “membangun sosialisme berdasarkan karakteristik China” sudah ditekankan pula oleh Jinping saat berpidato selama 3 jam dalam Kongres PKC Oktober 2017. “Perbaikan terus-menerus” menjadi semacam propaganda agar amandemen konstitusi itu diterima atau setidaknya ‘dimaklumi’ oleh masyarakat.
Dikutip dari The Straits Times, surat kabar milik Komite Sentral PKC, People’s Daily Online, dalam sebuah editorial mengklaim bahwa kebijakan itu mendapat dukungan dari masyarakat. Amandemen konstitusi disebut perlu dilakukan agar relevan dengan perkembangan masyarakat dan negara.
“Hanya dengan terus-menerus menyesuaikan diri dengan keadaan baru, belajar dari pengalaman baru, mengonfirmasi hasil terbaru, dan menetapkan standar baru, konstitusi dapat mempertahankan vitalitasnya agar tahan lama,” tulis People’s Daily Online.
Sementara Global Times, media yang berada di bawah naungan People’s Daily Online, menyebut bahwa berdasarkan pengalaman China, konsentrasi kekuasaan di puncak kepemimpinan menguntungkan negeri Tirai Bambu itu.
“Selama dua dekade terakhir, trinitas kepemimpinan yang terdiri dari sekretaris jenderal Komite Sentral PKC, presiden, dan Komisi Militer Pusat PKC telah terbentuk dan terbukti efektif,” tulis media tersebut dalam sebuah editorial.
“Penghapusan batas dua-periode masa jabatan Presiden China dapat membantu menjaga sistem trinitas dan memperbaiki institusi kepemimpinan PKC dan negara.”
Pakar politik China di organisasi riset nirlaba Conference Board, Jude Blanchette, menyatakan amandemen konstitusi itu seperti menjawab desas-desus yang menyebut Jinping akan mengikuti langkah Putin untuk terus menerus mempertahankan posisinya sebagai presiden.
Beberapa sumber pro-pemerintah membenarkan usulan itu karena dianggap pantas dengan capaian Jinping selama ini, misalnya menghukum lebih dari satu juta koruptor, memodernisasi militer China, dan capaian ekonomi.
Semua itu merupakan bagian dari misi rejuvenation atau peremajaan negara yang diklaim Jinping tengah berada di jalan yang benar sejak ia berkuasa.
Para ahli menerka bahwa usulan penghapusan batas masa jabatan presiden itu sebetulnya dirancang dalam mendukung visi Jinping membangun “New Era of China” yang disampaikan dalam Kongres PKC tahun lalu. Di tangan Jinping pula, dipercayai bahwa China akan dapat mempertahankan kedaulatan nasionalnya atas Hong Kong dan menentang kemerdekaan Taiwan.
“Reunifikasi dengan Taiwan merupakan bagian tak terpisahkan dari peremajaan besar bangsa China,” kata seorang sumber yang memiliki hubungan dengan elite pemerintah China kepada Reuters, Rabu (28/2).
Washington, rival Beijing dalam konstelasi global, mendukung usulan penghapusan batas masa jabatan presiden itu.
“Itu adalah sebuah keputusan dari China yang dibuat berdasarkan apa yang terbaik untuk negaranya,” kata Juru Bicara Gedung Putih, Sarah Sanders, Senin (26/2). Menurutnya, Presiden AS Donald Trump juga tertarik untuk mengeluarkan usulan serupa di AS.
“China benar-benar telah melakukan sesuatu lebih dari yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Kami memiliki hubungan yang sangat baik,” kata Trump. “Tapi Presiden Jinping adalah untuk China dan saya untuk Amerika Serikat.”
Sikap AS tentu mengecewakan orang-orang liberal di China yang justru berharap usulan–yang menurut mereka pantas diolok-olok oleh ‘negara-negara beradab’, itu mendapat tekanan internasional.
Sumber: kumparan.com
Discussion about this post