Ikhlasku kini telah letih, jabatan tanganku kini tak lagi bermakna.
“ Syair hati yang khawatir ”
Balada nasib rakyat badarai Nagari Limau Manis Selatan, Pauh Kota Padang. Didesak, ditikam, dan dijadikan gembel dikampung halaman sendiri oleh kerbau tua yang siap diperintah oleh bocah dari seberang.
Ulu Gadut, Nagari nan elok, subur, indah, asri dan bersahabat, idaman bagi setiap insan, tempat dimana ribuan jiwa menetap dan mencari hidup dari alam. Sebuah sungai besar membentang panjang membelah negeri, tak pernah sepi dari Gelak tawa sang bocah- bocah, begitu riuh karena kegembiraan mereka, sembari berenang di birunya air yang amat begitu dingin dan menyegarkan. Sang fajar yang tak pernah lelah menyinari bumi, turut mengantar ibu- ibu mencuci, binatang ternakpun tak segan tuk langsung meneguk segarnya air yang terus mengalir tanpa henti.
Semua keindahannya begitu segar dalam ingatan masyarakat di salingka Kenagarian Limau Manis Selatan, Kecamatan Pauh, Kota Padang. Namun akhir- akhir ini, kenangan indah itupun sirna. Besarnya debit air yang dihasilkan sungai ini, telah dipangkas dari hulu oleh batangan- batangan paralon besar guna memenuhi kebutuhan air minum masyarakat Kota Padang serta guna mengisi deposit air kapal- kapal besar di Teluk Bayur. Yang lebih memilukan hati, sisa air yang tak seberapa lagi itupun tak lagi dapat dimanfaatkan, air yang jernih itupun saat ini tak lagi berwarna biru, ikan- ikan kecil yang dahulu bermain disela bebatuan kini tak lagi nampak, keasrian itu kini telah lenyap, kegembiraanpun kini telah hilang, semuanya dicabut oleh warna keruh sang air yang dapat mengancam kesehatan dan jiwa setiap makhluk di dekatnya.
Berpuluh tahun pemandangan ironis ini telah berlangsung, namun apadaya, bisikan dari pemilik tubuh anak Negeri yang dekil tak lagi didengarkan, suara jiwa- jiwa yang tergores dan terampas diabaikan, telinga lebar sang penguasa sudah tak senyaring telinga sapi, manusia berkening lebar dengan rambut setengah licinpun telah dibeli, kuping, hati dan jiwa mereka telah ditutupi oleh lembaran berharga dari debu beracun, mulut merekapun telah dicekoki limbah kimia berbahaya.
Demi kekokohan dan kemajuan sebuah pabrik perekat bumi, semua hak rakyat dirampas, semua cita- cita dan keinginan masyarakat disita, tetesan air mata sang ibu terus mengalir karena tangan sucinya tak lagi dapat menyuapkan singkong rebus kemulut sang buah hati, kulit keriput sang bapak semakin mengering karena mencangkuli setiap jengkal tanah sawah dan ladang yang telah kering membatu, binatang ternak tak lagi dapat menikmati segarnya nikmat Illahi. Sang mujair, kupareh dan gurami tak lagi meliuk- liuk di empang belakang rumah, daun- daun tak lagi berwarna hijau, semuanya musnah oleh sebuah ISO Lingkungan yang dibuat dan direkayasa oleh badut- badut BUMN ini.
Meski paling tua tapi lebih bodoh, sebodoh kerbau tua yang mau dan ikhlas ditarik oleh bocah ingusan dari seberang. Disamping sebagai pabrik dengan mutu perekat batu bumi no 1 di dunia, perusahaan ini juga memproduksi semboyan yang berlafazkan ”Tumbuh dan Berkembang Bersama Lingkungan “ sebuah Visi dan Misi dengan realisasi pembohongan terhadap masyarakat pribumi dan dunia.
Inikah tujuan pembangunan 6 unit mu wahai para petinggi.? Pembangunan yang membawa masyarakat pribumi ke jurang kenistaan. Karena ulahmu, ribuan gembel tercipta, siap menari dan berdansa disela abu beracun yang membumi, terkadang mereka engkau anggap pencuri.
Meski program CSR (Corporate Social Responsibility) mu membuming di seantero negeri, namun itu hanya mimpi. Wajah- wajah pribumi hanya jadi bahan olok- olokan. Nyanyian sang Bundo putri lebih didengar dan ditakuti oleh petinggi. Daerah dengan hak pantas hanya dapat ampas.
“Kuatkah engkau wahai kawan, mendengar teriakan miris saudara mu yang sanggup menyobek jantung ikhlasmu.???.”
“Tegakah engkau wahai kakak, melihat luka adik mu, yang setiap hari menganga terus dicumbui lalat..??? ” .
“Mampukah engkau tertidur wahai saudara ku, sementara ibu kita terus berjalan tertatih dari tempat sampah yang satu ketempat sampah lainnya dimalam yang gelap, demi sesuap nasi dipagi hari..??? ”.
“Tuan berkepala kerbau”, sekarang bukan zamanya bambu runcing..!!
“Tuan berkepala kerbau”, zaman Orde baru telah berlalu…!!
“Tuan berkepala kerbau”, Negeri ini harta leluhur untuk anak cucu kami..!!!
“Tuan berkepala kerbau”, tidak sadarkah engkau, kehidupan mu, anak dan istri mu, adalah sedekah dari leluhur kami…??.
“Tuan berkepala kerbau”, kalian Malin Kundang sejati, mencuri dan berpesta pora diatas derita anak negeri, hancurkan bumi, hancurkan hak anak cucu negeri ini.
“Tuan berkepala kerbau”, akankah goretan hitam mu untuk negeriku juga menjadi tanggung jawab anak cucu kami..???
Salam sejahtera buatmu badut, semoga tarian buta dan tulimu diatas luka rakyat yang terhimpit, menyesak, terdesak, karena tersentuh air sungai negeriku yang tak lagi suci, terus diminati.