Oleh : Erza Surya Werita, S.Pd. (Guru MTsN 2 Solok)
TI – “Sejarah merupakan suatu fakta yang dipelajari di masa kini, untuk diambil pelajaran demi perbaikan di masa yang akan datang“. Ungkapan ini diterangkan secara gamblang oleh seorang guru sejarah dan merupakan penjelasan sang guru saat memberikan pengantar pelajaran sejarahnya, lebih dari 20 tahun yang lalu, ketika penulis masih duduk di bangku kelas satu SMU.
Meski ungkapan itu telah 20 tahun berlalu, bukan berarti pernyataan tersebut tidak releven lagi untuk dijadikan referensi kuat sampai sekarang.
Menurut penulis, kita yang saat ini masih terus belajar, suatu waktu juga akan menjadi sejarah, sebab sejarah selalu berkaitan yakni dari masa ke masa dan dalam hal ini setidaknya ada tiga masa. Ketiga masa itu akan selalu berkaitan tanpa bisa dipisahkan yaitu masa lalu yang merupakan fakta sejarah, masa kini adalah kenyataan, sedangkan masa depan adalah harapan untuk lebih baik. Dengan demikian, jelaslah bahwa menghapus sejarah tidak akan pernah mungkin bisa dilakukan, karena sejarah akan selalu ada dalam setiap waktu atau masa ke masa.
Ketika kita belajar (menuntut ilmu) di negara-negara maju. Semua fakta-fakta sejarah bukan hanya dipelajari untuk sekedar diketahui saja, tapi dikaji secara lebih dalam dan dilakukan deep analysis. Apabila semua fakta-fakta sejarah itu dapat dipastikan kesahihannya, maka dibuatlah dalam bentuk digital untuk diabadikan. Selanjutnya diturunkan ke generasi-generasi berikutnya, sehingga tidak menjadi tumpukan sejarah yang berdebu, sebagaimana halnya di Indonesia.
Menurut Randy Wirayuda, dalam sebuah tulisannya di majalah Historia edisi 22 September 2020 dengan judul “Tantangan Riset Sejarah di Era Milenial”.
Beberapa hari terakhir, dunia Pendidikan Indonesia sempat dibuat shock dengan adanya wacana Menteri pendidikan dan Kebudayaan yang berupaya membuat sejarah dengan cara menghapus mata pelajaran sejarah. Lalu apa sebenarnya urgensi dari kebijakan menghapus mata pelajaran sejarah di sekolah?. Tentunya kebijakan tersebut akan berdampak menghapus sejarah bangsa, dikarenakan banyaknya anak didik yang tidak lagi mengenal sejarah, atau memang Pak Menteri mencoba untuk membuat sejarah dengan cara mengahapus sejarah?.
Mustinya kebijakan itu hendaknya dikaji secara mendalam oleh Lembaga-lembaga yang kompeten, sebelum dilontarkan ke publik. Kalau seandainya kebijakan tersebut diterapkan, tentu saja akan sangat banyak sekali rentetan efek domino yang ditimbulkannya.
Misalnya, salah satu dampak yang mungkin akan terjadi adalah hilangnya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Ilmu sejarah, seperti halnya ilmu politik, sosiologi, arkeologi, paleontologi, antropologi dan lain sebagainya. Lalu kalau sudah begitu, mau dibawa kemana jurusan IPS di sekolah-sekolah?.
Kita tentu sama fahami bahwa jurusan IPS adalah mata pelajaran yang intinya adalah bidang studi tersebut, atau “Penyederhanaan/adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogik/psikologis untuk tujuan pendidikan”, dimana definisi ini berlaku untuk pendidikan dasar dan menengah.
Nah.., bila ilmu sejarah dihapuskan, sama saja menghapus sebagian besar Ilmu Pengetahuan Sosial. Bahkan beberapa mata pelajaran eksakta sekalipun, seperti halnya biologi dan geologi, juga terkena imbas.
Bagi anak didik, sejarah merupakan petunjuk tentang apa dan siapa manusia itu sebenarnya. Tanpa belajar sejarah, tentunya kita membiarkan generasi berikutnya untuk buta terhadap dirinya sendiri. Anak didik yang sejatinya adalah generai penerus bangsa, sangatlah penting untuk belajar hakikat dan manfaat dari esensi sejarah itu sendiri.
Di mana pentingnya belajar sejarah?, di dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Arum Sutrisni Putri dengan judul “Pentingnya Belajar Sejarah” (Kompas.com 12/03/2020). Diterangkannya, sejarah wajib dipelajari untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada masa lalu, sehingga dapat mempengaruhi kehidupan manusia di masa kini. Perubahan tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan manusia, seperti sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Di samping itu, dengan mempelajari sejarah, maka generasi sekarang dapat mengetahui kesalahan-kesalahan masyarakat di masa lampau, bila ditemukan. Sehingga dapat diambil sebagai iktibar untuk kunci keberhasilan kedepan yang lebih baik lagi.
Selain itu, tenaga pendidik yang mengajar mata pelajaran tersebut akan membuat dunia pendidikan malah menjadi ruwet. Sebab, tidak mungkin para guru bidang pelajaran itu dibuang begitu saja atau di alihkan untuk mengajar mata pelajaran lain. Karena hal tersebut tentunya bakal memerlukan penataan guru kembali, yang tentu saja jumlahnya mencapai ribuan guru.
Mengalihkan guru ke mata pelajaran lain yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya, jelaslah akan menjadi tidak efektif dan tentu saja terjadi penurunan mutu pendidikan. Selanjutnya, dampak tidak baik terhadap kompetensi dan kualitas guru yang diakibatkan oleh kebijakan itu, juga akan timbul. Untuk itu, diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan dipikirkan dengan matang.
Dampak selanjutnya yang kemungkinan akan terjadi yakni, mempengaruhi LPTK (Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan).
LPTK merupakan lembaga yang menghasilkan tenaga pendidik (guru) dan tenaga kependidikan yang dalam hal kebijakan ini adalah jurusan sejarah dan cabang-cabang yang ada di dalamnya seperti antropologi, sosiologi dan lain sebagainya.
LPTK seperti Universitas-universitas yang memiliki pendidikan guru sejarah, tentu juga akan terkena dampak. Padahal Lembaga-Lembaga seperti FKIP, dan STKIP yang tersebar di seluruh pelosok negeri, berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal Lembaga tersebut selama ini sangat berperan besar dalam mencetak guru-guru sejarah dan juga berperan besar dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Sudahkah semua dampak tersebut dikaji secara mendalam dan dipikirkan selama ini?. Seharusnya pengambil kebijakan tidak mudah melontarkan kata-kata yang berpotensi memancing kegaduhan Pendidikan, walaupun pada akhirnya wacana itu ditarik kembali. Meski begitu, sudah terlanjur viral dan menimbulkan banyak perdebatan dikalangan dunia pendidikan.
Mustinya para pengambil kebijakan dunia pendidikan saat ini, lebih fokus pada perubahan ke yang lebih baik. Seperti peningkatan literasi, karena di Indonesia minat baca kita sangatlah rendah, bahkan kita hanya berada di peringkat ke-enam dari 80 negara yang tergabung dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), atau meningkatkan kualitas guru yang sangat jauh dari yang diharapkan.
Dua contoh upaya di atas diharapkan dapat dijadikan catatan penting, ketimbang menghapus sejarah dan mengeluarkan kebijakan menghapus sejarah tersebut sebagai sejarah.
Discussion about this post