Oleh : Yohandri Akmal
Sudah menjadi hal keseharian, bila persahabatan insan pers dan pengacara bak ibarat gula dengan kopi. Diberbagai kesempatan, wartawan dengan pengacara memang kerap berkolaborasi. Contohnya disaat berdiskusi tentang ilmu hukum, ilmu pengetahuan umum dan sebagainya. Artinya, keduanya saling mengisi dan berbagi.
Seperti ibarat gula dan kopi, masing masing bila telah berbaur dalam satu gelas maka akan menghasilkan rasa yang nikmat. Kopi tanpa dicampur gula, maka ia akan terasa pahit begitu juga sebaliknya, gula tanpa diberi kopi tentu yang terasa hanya manisnya saja.
Walaubagaimanapun wartawan dan pengacara terikat dengan sandi profesi. Keduanya saling memandang satu sama lain. Ada hal yang bisa dimaklumkan, kemudian sebaliknya juga bisa saling koreksi. Ibarat dua sisi mata uang, dengan berbeda warna namun terikat dalam etika profesi.
Meskipun Pengacara dan Wartawan memiliki wadah yang berbeda. Tetapi, sesumbar orang tahu bahwa keduanya dibutuhkan masyarakat. Tentunya, unsur saling segan antaranya pun ada, yang mana ada azas saling memahami dan saling merasakan.
Sedangkan pada sisi lain, setiap media cetak dan media online didalam struktur box redaksinya, pasti ada penasehat hukumnya yang tiada lain adalah pengacara.
Untuk di daerah saya misalnya, dari sekian banyak teman wartawan yang saya punya, boleh dikatakan bahwa sekian banyak itu pula jumlah teman pengacara saya. Bisa dibilang, persahabatan dua profesi berbeda peran tersebut adalah persahabatan SEJATI.
Memaknai pemaparan di atas, tentulah akan terlihat kekanak kanak’an bila seorang oknum pengacara menggugat secara perdata karya jurnalistik seorang wartawan yang terjadi di Kabupaten Langkat Provinsi Sumut.
Menyikapi hal sedemikian itu, tentunya tindakan yang di ambil oleh oknum pengacara tersebut dapat dikategorikan sikap yang gagal paham.
Seorang teman seprofesi saya dengan tegas menjelaskan bahwa gugatan perdata terhadap 10 (sepuluh) perusahaan pers dan 9 (sembilan) orang wartawan ke Pengadilan Negeri Stabat oleh oknum Advokat Kabupaten Langkat itu adalah salah kaprah atau sok sok’an.
“Seharusnya oknum Advokat bersangkutan mempelajari lebih jauh tentang seputar peran dan fungsi pers di negeri yang beradab ini. Tujuannya supaya beliau tidak gagal paham dan bisa mengerti akan sisi adab hukumnya”. Paparan singkat teman wartawan saya di sebuah kafe kecil sederhana.
Bangsa kita adalah bangsa yang ber-adab dan setiap pengacara pasti punya adab. Jadi beliau jangan terkesan seperti orang yang seolah olah sedang mencari panggung dengan tujuan untuk mengejar popularitas diri. Kalau selebritis, mungkin bisa dimaklumi.
Bila ingin unjuk gigi dengan menunjukan ketajaman ilmu hukum, lakukanlah dengan cara yang santun. Bila sebaliknya, jangan pula diarahkan pada karya jurnalistik seorang insan pers. Karena fungsi dan peran wartawan dalam melaksanakan tugas sosial kontrolnya dipayungi oleh Undang undang yakni UU No. 40 tahun 1999, sebagai yang mengatur tentang kebebasan dan kerja pers di Indonesia.
Selain peran pers merupakan amanat reformasi 1998, juga sebagai salah satu wujud hak asasi manusia. Selanjutnya, kerja wartawan telah terikat dan telah di atur dalam Kode Etik Jurnalistik. Jadi setiap karya jurnalistik tidak bisa serta merta dipidakan ataupun diperdata-kan. Artinya, ada mekanismenya yang wajib dilalui jika ada terjadi sengketa terhadap karya pers.
Nah, seharusnya beliau sebagai seorang pengacara yang lebih mengerti hukum, mustinya faham dengan kekuatan hukum akan setiap Undang undang yang ada di Indonesia ini dan juga taat akan adab mekanisme hukum. Maka itu, gunakanlah akal sehat sebelum melangkah memejahijaukan wartawan secara perdata dengan tuduhan melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap karya jurnalistiknya.
Jadi, sikap gagal paham yang diperlihatkan oleh oknum advokat tersebut sangatlah disayangkan. Bila merasa teledor, segeralah berputar balik demi terjaga baiknya reputasi diri. Bila ego yang dikedepankan, sama saja mencoreng muka sendiri. Tidak itu saja, dampak selanjutnya boleh jadi reputasi atau nama baik profesi pengacara menjadi menurun di mata publik.
Advokat atau pengacara adalah kumpulan orang orang hebat yang mengerti tentang hukum dan UU, memiliki kualitas dan mempunyai integritas tinggi. Karenanya, jangan sampai tercoreng hanya ulah satu orang oknum pengacara.
Dengan memejahijaukan 10 perusahaan media dan 9 wartawan akan karya jurnalistiknya atas tuduhan perbuatan melawan hukum (PMH), tentunya pada sisi yang berbeda, wartawan juga bisa melakukan langkah hukum lain yang lebih ber-etika dan beradab. Misalnya berkirim surat secara resmi kepada asosiasi advokat tempat oknum pengacara itu bernaung, atau melaporkannya atas tuduhan menghalang halangi tugas wartawan, serta langkah langkah hukum lainnya.
Dipenghujung kata, dirasa publik dapat mendefinisikan bahwa gugatan penggugat terhadap 10 perusahaan media dan 9 orang wartawan oleh oknum pengacara tersebut. sudah selayaknya ditolak atau dikesampingkan oleh Hakim Pengadilan Negeri setempat, karena dinilai tidak berdasarkan hukum dan mengada ngada.
Discussion about this post