Oleh : Budi Gunawan
Di tengah kerumunan jangkrik yang berisik dia tertidur dengan nyaman dalam keterpaksaan. Nyamukpun menjadi kawan tidur yang setia, setebal apapun selimutnya tetap saja kedinginan menyentuh kulitnya. Dinding tadir tak berarti bisa melindungi tidurnya, dari nyamuk, dari hawa dingin, dari ular, ulat, serangga dan sebagainya. Jika tulangnya bisa bicara, mungkin dia akan katakana “bosan” dengan dingin yang menusuk itu.
Inilah yang dirasakan sebagian penduduk bukit karang putih yang merupakan sumber beton Indonesia di Kota Padang, Sumatera Barat. Mereka merajut asa di dalam kesunyian, hanya bisa menghayal dan hanya berpikir untuk makan esok hari. Dunia anggap Negerinya kaya dan memperkaya, tapi mengapa dia melarat? hidup dengan rumah berdinding bambu beratap plastic dan tidak bersekat.
Mereka terpaksa berdendam kepada hujan dan goncangan angin badai.
Sementara, tempatnya berpijak merupakan sumber kekayaan negerinya. Seharusnya dia juga kaya bahkan bibirpun bergetar jika menyebut hidupnya sederhana. Mereka itu susah! Melarat! Dan Menderita.
Disaat orang-orang berdasi sukses mengelola tanahnya, bukit kapurnya dan arealnya tetapi kenapa mereka malah sebaliknya?
Negerinya memang kaya beton, tetapi dia tidak merasakan itu ketika jalan menuju rumahnya penuh becek, tanah lumpur dan semak belukar. Bukitnya terkikis hatinya teriris. Bersambung….