Tiga hari yang menjenuhkan di rumah. Lia sering bepergian dan penyakit ibu makin parah. Aku bingung, apa yang musti dilakukan. Sedangkan pekerjaan tak punya, apalagi untuk biaya berobatnya ibu. Sementara Lia terlalu asyik bersama fantasi mudanya. Ia seperti menolak keadaan miskin dengan cara bersenang-senang tidak karuan.
Dari depan rumah terdengar suara motor berhenti, kulihat Lia turun diboncengi seorang lelaki.
“Kemana saja kamu? Ibumu belum makan?” tanyaku.
“Kan ada kamu, kasihlah ibu makan?” jawabnya cetus.
Mendengar ucapannya, aku terhenyak. Ia seperti menghantamku dengan palu besar, aku sadar dengan ketidak mampuanku. Aku hanya bisa diam sedangkan Lia terus mengomeli hidup susah ini. Ia seakan tak rela lagi masa remajanya direnggut oleh kewajiban untuk keluarga, terutama merawat ibu.
Aku paham dengan perasaanya, tapi apalah daya dikata. Miskin merupakan sesuatau yang melekat abadi dibagian hidupku.
Aku kembali ke belakang, tidak lama kemudian Lia menghardikku.
“Uda!!” hardiknya.
“Apa?” balasku.
“Kamu carilah uang atau pulanglah ke tempat istrimu. Kami dirumah kesusahan dengan beban ini”, kata Lia.
Bathinku rebah mendengarnya namun tetap tak kuasa menjawab tanya dia. Aku hanya bisa pergi keluar mengelak dari omelannya. Menjelang keluar rumah, kulihat Lia tengah asyik tersenyum dengan smartphone barunya. Pertanyaan pertama yang lahir, uang dari mana untuk membeli android tersebut.
Tak kupikirkan lagi asal-usul mainan barunya itu. Bagiku yang terpenting sekarang, aku bisa menghasilkan uang. Duduk di warung merupakan alternative mencari informasi terbaik menurutku. Berbekal duit lima ribu, kuberanikan diri datang ke sebuah warung kopi yang tak jauh dari rumah.
Sesampainya, tak satupun kata keluar dari penjaga warung meskipun kita sudah saling kenal dari dulu. Mereka yang di warung itu diam dan acuh tak acuh padaku. Mungkin karena kemiskinan ini sangkaku.
“Ni, pesan kopi setengah dan samsu sebatang”, pintaku ke pejaga warung itu.
Tanpa menjawab, kopi setengah gelas dan rokok samsu sebatang disuguhi ke mejaku. Sambil santai, kucoba untuk berbicara dengan yang lainnya.
“Da Jun, kira-kira ada informasi kerjaan ga buatku?”, tanyaku ke salah seorang yang kukenal di sana.
“Ga ada Badu, memangnya kamu ga ngojek lagi?” jawabnya menanyakan balik.
“Aku sudah di tempat ibu sekarang da, netap di sini sekarang”, jawabku.
“Lalu Luna gimana?”. Kata Eti si penjaga warung.
“Ga taulah aku tentang dia”, singkatku.
Merasa risih dengan pertanyaan soal rumah tangga, aku seketika beranjak pergi untuk menghindari itu. Percuma juga kuceritakan, hasilnya takkan ada. Mereka hanya bisa cemoohin dan menggunjingiku saja setelah tahu.
Bergegas menuju rumah sepertinya baik menurutku. Gagallah hari ini. Baru saja sampai, aku mendapati rumah kembali dalam keadaan tanpa Lia. Hatiku bertanya-tanya, kemanakah dia. Tak tahan dengan kondisi itu, akupun pergi mencarinya.
Setelah puas mengincahi daerah Padang, kutemukan informasi mencengangkan dari seorang teman dekatnya Lia. Dia mengatakan bahwa adikku tengah berada di hotel kelas melati bersama seorang pria di kawasan tepi laut. Terselut emosi, spontan kudatangi hotel tersebut.
Dari kejauhan, kuintai pintu hotel itu dengan berbagai macam orang keluar masuk dari sana. Dua jam sudah kutunggui pintunya dari jauh, ternyata informasi itu benar. Lia terlihat keluar bersama seorang bapak-bapak. Serasa bumipun gempa pada saat itu.
“Tunggu!”, teriakku dari jauh.
Mereka kaget melihatku, bapak itupun terkesan heran dan takut terlihat dari wajahnya. Lia kutarik dan kutampar. Melihat tingkahku, bapak tersebut lari terbirit-birit.
Bersambung……….
Cerita ini dikemas berdasarkan kisah nyata yang disusun Penulis.