Padang, targetdaerah.com – Dugaan kuat permainan curang yang dilakoni oleh oknum pembebasan tanah jalan baru PT. Semen Padang, yang ingin mendapatkan keuntungan besar di atas kepemilikan tanah warga, tampaknya semakin menarik untuk dikupas. Adapun dugaan permainan curang yang sengaja dikondisikan itu, yakni pembayaran ganti rugi pembebasan tanah jalan baru sebesar Rp. 3.000/m2, yang dianggap pemilik tanah merupakan penetapan harga diluar batas kewajaran.
Diketahui, sebanyak 6 (enam) persil tanah warga yang terletak di Sikayan Bansaik yang dikatakan masuk areal 412 ha (lokasi tambang batu kapur) oleh okunum PTSP makin terlihat jelas. Yang mana pembayaran ganti rugi sebesar Rp. 3.000/M2 tersebut ditolak keras oleh salah satu pihak pemilik tanah. Yakni kaum Andre suku Koto, dengan alasan tanahnya yang terkena jalan baru PTSP tidaklah masuk areal 412 ha, karena areal 412 ha terletak di Bukit Karang Putih.
Dikatakan Andre, ia dan pamannya telah sering mendesak PTSP bidang Biro Hukum terkait tuntutan ganti rugi tanah kaumnya itu, dimana penetapan harga yang dituntutnya adalah sebesar Rp. 360.000/M2 seperti pembayaran sebelumnya yang diterima Andre pada objek tanah berbeda, yang juga terkena jalan baru PTSP. Meskipun Andre beserta pamannya telah lama berjuang dalam menuntut haknya itu, namun sampai sekarang belum juga dipenuhi atau dibayarkan oleh PTSP.
“Pemilik tanah lainnya di 5 persil yang terkena pembangunan jalan baru tersebut, terpaksa menerima ganti rugi sebesar Rp. 3.000/m2 karena takut dengan PTSP, tapi saya beserta kaum saya sedikitpun tidak gentar menghadapi PTSP, karena yang saya perjuangkan adalah hak kaum saya” papar Andre.
Dari hasil konfirmasi dengan Kepala Biro Humas PTSP, Iskandar Zulkarnaen Lubis pada minggu lalu melalui selularnya mengatakan, bahwa areal 412 ha telah diperlebar sehingga 6 (enam) persil tanah warga tersebut masuk dalam areal 412 ha.
Menurut Ketua LSM Penjara Sumbar, Ambril. Mengatakan, bahwa areal 412 ha adalah areal tambang batu kapur di bukit karang putih yang dimanfaatkan sebagai bahan baku semen, dan produksi lainnya oleh PTSP yang merupakan Hak Pakai, dimana luas yang sebenarnya adalah 412,03 Ha, pungkas Ambril.
Artinya jelas Ambril lagi, jika 412 ha diperlebar atau diperluas seperti yang disampaikan oleh Iskandar Lubis, jelas tidak masuk akal dan itu merupakan rekayasa yang terlalu berlebihan yang sengaja membodoh-bodohi masyarakat. Padahal dalam perjanjian yang disepakati, objek 412 ha terletak di Bukit Karang Putih. Dimana dahulunya pembebasan lahan tersebut kepada para peladang melalui pemberian uang kompensasi senilai Rp. 3.000,- per meter bujur sangkar, dengan tiga tahap pembayaran.
Masyarakat tentu masih ingat, bahwa dahulunya pada proses pembayaran tahap III oleh PTSP, menjadi tertunda karena muncul berbagai permasalahan dalam kepengurusan lahan tersebut, jika waktu itu kepengurusannya berjalan lancar tentunya pembayaran tahap III sebesar 40% dibayarkan pada bulan juni 2006. Mestinya Biro Humas PTSP lebih memahami dan jangan asal ngomong saja, paling tidak Iskandar Lubis mengkaji kembali isi perjanjian atau kesepakatan terkait pembebasan areal 412 ha, sehingga 6 persil tanah warga yang berada didataran rendah, dimana 5 persil diantaranya yang telah terkena pembangunan jalan baru PTSP itu, tidak dipolitisir. Tegas Ambril.
“Janganlah membodohi masyarakat, kebenaran pasti bakal terungkap, siapa yang menanam maka dialah yang akan memetiknya” tutup Ambril. bersambung (TIM).