By : Budi Gunawan
Di tengah malam suntuk. Mata ini masih saja tidak bisa dijinakan. Aku berulang kali bolak-balik masuk kamar. Sebentar merebah, lalu berdiri dan keluar lagi, selalu seperti itu lagi. Tak ada satupun orang yang terjaga kecuali diriku. Benar-benar sepi rasanya.
Ingin rasanya menyalakan komputer lalu berinternet. Tetapi hal itu tidak bisa kulakukan. Karena jaringan internet putus sementara, akibat tagihan belum dibayar. Aku kebingungan.
Duduk di teras rumah adalah pilihan yang cukup baik malam itu. Dari layar depan handphone Samsung lipat kecil berwarna hitam, kulihat tulisan waktu 02.14 artinya sudah begitu larut. Untung saja ada kopi yang sudah kubuat sendiri sebelumnya.
“Sisa pulsa Rp. 750. Aktif sd 09/07/2016. Dapatkan NSP…”, begitulah pemberitahuan yang kubaca saat mengechek pulsaku. Buat menelpon saja tidak cukup, lalu kegelisahan ini makin merunyam, harus bagaimana mana lagi.
“Bang, kalau masih bangun hubungin ke sini, aku bingung”…. Aku mencoba kirmi sms ke Akmal. Meskipun kemungkinan besar dia tidak membalasnya, aku tidak begitu menunggunya. Kemudian Hanphone kuletakan dan mulai melamun kembali, perihal masyarakat-masyarakat di bawah Bukit Karang itu.
Yang terbayangkan olehku, apakah kami bisa mendapatkan hasil dari kerja keras ini atau malah sebaliknya. Sia-sia…? Kami menginginkan semua warga itu mendapatkan haknya sebagaimana mestinya. Sangat kusesali sekali, jika perusahaan besar itu tega mengabaikan nasib mereka meskipun sudah tiada berdaya. Sangat bertolak belakang dengan pemberitaan bagus-bagus tentang perusahaan itu sebelumnya. Dan yang paling kusesali sekali, mereka sanggup mengeluarkan uang ratusan juta untuk banyak media masa. Tetapi mengapa untuk memberikan hak warga di sana mereka tidak mau. Apa masalahnya, itulah yang tidak aku kumengerti. Apakah ini politik? Konspirasi? atau Korupsi? Entahlah, aku tidak habis pikir soal ini.
Cukup lama juga aku membayangkan namun tidak tahu jalan keluarnya. Bagi kami, permasalahan masyarakat di sana sangat penting. Semakin kupikirkan semakin membuatku ngantuk. Aku berdiri hendak beranjak ke kamar. Belum sampai di pintu, hp ku berdering. Akmal memanggil, lalu kuangkat.
“Ya, Bang”.
“Sorry, tadi Hp di dalam kamar, barusan dibaca makanya ku hubungi. Ada apa Bud?”, ucap Akmal.
“Aku hanya bingung, Bang”.
“Bingung kenapa Bud?”. Katanya.
“Aku melihat ada kejanggalan dari berita yang kita buat. Menurutku, mustahil rasanya masih ada orang yang susah di sekitaran perusahaan seuper besar itu, Bang”. Sahutku, sambil menggeserkan bangku dan duduk kembali.
“Kan udah ada Willy yang meliputnya, apanya yang janggal Bud?”. Tanya nya.
“Iya, aku tahu itu. Tapi kayaknya kita harus turun juga deh bang ke lapangan. Biar semuanya lebih jelas lagi. Tapi tergantung abang kok, aku hanya menawarkan kebetulan minggu ini job ku sedang kosong juga. Lumayanlah buat ngisi waktu”.
“Oke deh, bagaimana kalau besok kita berangkat ke sana. Kalau Willy, biar aku yang hubungi dia, kita bersama ke sana”.
“Sip bang,…kutunggu aba-abanya besok”. Kataku mengakhiri percakapan.
Pagi-pagi sekali, kami sudah berangkat ke lokasi kaki bukit karang itu. Willy sudah menunggu di sana.
Kami sepakat berkumpul di rumah Bundo terlebih dahulu. Adiknya Bundo meminta kami menunggu sejenak. Dia Om Marten yang menawarkan kita untuk membawa perbekalan dari Bundo.
Rasanya senang sekali, membayangkan bisa bercengkrama dengan alam yang indah di lokasi itu. Menurut ceritanya, pemandangan di sana masih alami.
“Nih, semuanya sudah beres. Silahkan berangkat dan hati-hati di sana ya!”, kata Bundo sembari memberikan bekal yang sudah ia bungkuskan untuk kami.
Willy, Akmal dan Aku berangkat menuju lokasi. Di pimpin Willy di depan sebagai petunjuk jalan dengan motor matic nya. Aku dan Akmal mengikutinya. Baru berjalan setengah kilo, Akmal mengklakson kami berdua dari belakang dan ia mendekati.
“Barusan Bundo menghubungi, katanya kita balik lagi ke rumahnya. Ada yang mau ikut dengan kita”, ucap Akmal. Dan kami kembali ke tempat Bundo.
Ternyata ada dua orang yang ingin ikut bersama kami. Mereka Rudy dan Sinda. Setelah melakukan perkenalan singkat, kamipun langsung berangkat bersama-sama rekanan baru.
Diperjalanan, aku berpikir siapa Rudy dan Sinda? Apa hubungan mereka dengan perusahaan dan kasus ini. Apakah mereka mata-mata perusahaan atau yang lainya. Pikiran kotor sempat merebaki kepalaku, tapi aku tetap santai saja.
Setelah menempuh perjalanan melawati medan berlumpur, terasa cukup sulit untuk dilalui menuju kampung tersebut. Akhirnya kamipun tiba di sana.
Ada hal yang membuatku tercengang, dan mengiris hati terlihat jelas. Bersambung….. Edisi 6