By : Budi Gunawan
Sepoi-sepoi angin sejuk membelai kulit pipi. Kesejukanya membuai perasaan. Desir ombak menambah nikmatnya duduk bersama di pepondokan bamboo beratap daun. Tapi, semua tidak senada dengan pandanganku. Karena wajah lelah yang tergambar dari muka mereka saat itu. Seakan dikerubungi rasa takut dan putus asa. Membuat suasana menjadi kaku.
Beberapa cangkir kopi disuguhkan penjaga warung. Minuman yang sangat pas bagi sekumpulan wartawan saat itu.
Pilihan sepetinya sudah tidak ada. Kebingungan dan kebingungan meracuni pikiran kami. Sebagai wartawan, kami mencoba tetap bersatu menghadapinya.
Tiada lain dari pada bagaimanakah selanjutnya menghadapi perusahaan terbesar di Sumbar ini. Dikelilingi permasalahan melangit dipaparan tanah minang ini.
“Apa lagi upaya yang bisa kita lakukan kawan-kawan?” ucap Sinda, meregang.
Lalu, kawan lainya memandangku selepas mendengar pertanyaan keluhan itu. Mata mereka menatapku, dari raut wajahnya seakan memaksaku untuk memberikan jawaban. Sejujurnya, aku juga sudah kebingungan, upaya apa lagi yang akan dilakukan. Karena, menurutku sudah semuanya dilakukan… namun tiada berarti.
“Mengapa bisa terjadi seperti ini? Mengapa perusahaan itu begitu teganya menyengsarakan banyak orang? Mengapa mereka makan hak yang semestinya di dapatkan masyarakat banyak? Apakah segitu kuatnya perusahaan itu? “, kata hatiku bertanya-tanya.
Handphone Akmal bebunyi. Iapun beri isyarat, “Sstt…sstt..sttt” jari telunjuk di depan bibirnya membuat kami semua diam. Kamudian loudspeaker dia aktifkan agar bisa di dengarkan bersama.
“Halo, pak Ketum apa kabar?” kata Akmal membuka pembicaraan.
“Baik Mal, kok datanya belum juga masuk ke emailku? Katanya, dulu kau mau kirim data kasus yang ada di Sumbar. Supaya bisa ditindak lanjuti oleh LSM di pusat? Logat batak Ketua Umum LSM pusat menanyakan.
Akmal gerogi menjawabnya”Anu, pak…data itu masih belum di susun dengan baik dan masih dalam proses…eeeh maksud saya, masih belum lengkap. Kalau sudah lengkap langsung saja saya kirimkan pak”, kami dengarkan Akmal terbata-bata menjawab.
“Okelah Mal, tolong sesegera mungkin kau siapkan itu. Karena kami semua di pusat, akan focus mengarah ke Sumbar, dan akan menindak lanjuti persoalan di sana. Kalau iya, segera dikirim ya, kutunggu!!!”, tegas Ketum itu.
Belum sempat Akmal melanjutkan jawaban, komunikasi seluler itu terputus. Dia melihat kami sambil menggaruk-garuk kepala, dan sebatang rokok kemudian disulutnya.
“Selama ini kitakan sudah mulai kelelahan. Masing-masing dari kita diintimidasi dengan versi berbeda-beda. Mulai dari Rudy dengan propaganda media social yang mengkerdilkan pribadinya, oleh pihak humas perusahaan. Dan yang lainya juga merasakan hal sama, hanya saja berbeda versi. Intinya, sebagai wartawan kita sudah tidak dihargai. Dikucilkan, bahkan oleh pembaca kita sendiri juga demikian. Sebaik apapun tujuan tetap saja tidak ada arti. Karena faktanya mereka mampu membayar mereka” ekspresi emosi Akmal tampak di pembicaraan di warung itu.
Aku akui, dia adalah wartawan professional yang kukenal. Selama ini pemberitaannya idealis serta berani. Tapi anehnya, baru sekaranglah dia tersudutkan dalam meng ekspos kasus di nagarinya sendiri.
Pria berambut panjang sebahu, dengan tubuh kurus. Selalu berpenampilan sederhana, bercelana jeans, kaus oblong merupakan ciri khasnya di mata rekan-rekan wartawan selama ini.
Berhadapan dengan salah satu perusahaan terbesar di Ranah Minang. Membuat dirinya harus berkorban banyak, mulai dari waktu, tenaga, pikiran, materil serta harga diripun ia pertaruhkan. Hanya demi mengupas borok perusahaan yang menggadaikan nama warga kaya kapur. Demi kepentingan, perusahaan itu mau melanggar berbagai etika sama sekali tidak menjadi persoalan bagi mereka.
Sementara, Akmal dan kawan-kawan harus rela terima cemooh banyak pihak. Semua orang beranggapan kami gila. Mana mungkin bisa, borok perusahaan besar itu dipersoalkan. Seandainya Tuhan bisa disogok. Mungkin hal itu juga mereka lakukan.
Akmal menikmati pergumulannya dengan tulisan yang ia buat. Baginya menjadi jembatan suara rakyat, merupakan dedikasi diri yang selalu diinginkanya. Meskipun tertekan, namun dirinya mampu mengumpulkan kekuatan mengajak kami ikut serta dalam perjuangan ini. Menumpas kegiatan “melawan arus” melalui jurnal rakyat.
Bersambung…………..