By: Yohandri Akmal
Kerasnya ledakan itu membuat kami serentak terkejut, akupun beranjak dari tempat dudukku. Pemilik warung mengalami hal yang sama. Spontan, mata kami langsung tertuju ke TKP, yakni sumber suara ledakan itu. 50 meter dari tempat kami, terlihat sebuah truk fuso berhenti dengan kondisi sedikit oleng. Suara ledakan keras tadi ternyata berasal dari truk fuso itu.
Mengalami pecah ban pada bagian belakang. Beruntung truk itu berhenti disebelah kiri jalan, sehingga jalan Adinegora tidak mengalami macet.
Bang, kita bantu yuuk, kasihan supir itu. Saran Budi ke aku.
Kami bertiga sepakat membantu supir truk fuso itu. Sebelum berangkat, Budi memanggil pak gaek pemilik warung, menanyakan total belanjaan. Kali ini, Budi menjadi pahlawan menyelesaikannya.
“Nih pak… uangnya” kata Budi menyodorkan uang lima puluh ribuan.
Kami bertiga mulai berjalan mendekati truk itu.
“Kelihatannya kondisi kendaraan serta ban itu, masih bagus bang. Ucap budi menunjuk.
“Kayaknya feeling mu benar juga Bud” balasku menjawab.
Sesampai didekat truk itu. Kamipun duduk di trotoar jalan, sambil melihat sang supir mengganti ban belakang yang pecah. Hanya saja Metek jenggo tak ikut menemani kami.
“Kemenakan, saya langsung pulang ajalah, soalnya sudah sore, besok kita sambung lagi diskusi tadi itu” jelasnya sambil melambaikan tangan.
“Oke Metek,..” lambai ku juga.
Tubuh pendek terlihat gemuk sedang mengeluarkan kunci roda pembuka ban. Meski gemuk, tangan yang sedikit pendek mampu membuka baut dan merangkul ban besar itu. Dengan sigapnya, ban yang pecah diganti dengan ban serap. Hitungan waktu 20 menit insiden pecah ban yang dialami truknya selesai sudah. Profesional, menandakan dia telah lama berprofesi sebagai supir.
“Cukup gesit abang ini, gumamku dalam hati.
Kami berdua ikut membantu supir itu, meskipun bantuan sosial yang kami berikan hanya sekedar melihat-lihat saja. Namun si supir menjadi tambah semangat. Setelah supir beres-beres, dia pun istirihat sejenak duduk bergabung bersama kami.
Menurutku usia supir ini sekitar 55 tahun. Wajah yang terlihat lelah, seperti tak dirasakannya.
“Capek bang” sapa ku memulai percakapan.
“Lumayan juga lah dek, ban yang diganti tadi itu cukup besar. Jadi terkuraslah tenaga ku, sementara perjalanan menuju ke Medan masih jauh” balasnya dengan logat batak yang khas.
“Sepertinya ban pecah tadi itu masih baru bang, kenapa bisa meledak..?” tanyaku.
“Yach.. begitulah dek, meskipun ban masih baru namun tak kuat menahan tekanan beban yang diangkut kendaraan ku itu. Kelebihan muatan mencapai puluhan ton diatas tonase, mengakibatkan ban menjadi panas. Jadi sangat riskan kemungkinan mengalami pecah”. jawabnya polos.
“Kalau begitu, mendingan bawa muatan tidak melebih tonase aja bang“ balasku dengan logat batak yang kutiru pula.
“Begini dek.., kalau muatan tonase yang dibawa truk ku itu, uang jalan yang kuterima tak mencukupi. Bisa-bisa aku nombok, sedangkan perusahaan tidak mau tau” tukasnya lagi
“Supaya aku bisa dapat uang lebih, aku harus membawa muatan melewati batas tonase, meskipun berisiko ban pecah, tak menjadi soal bagiku. Nasib sebagai supir memang beginilah adanya, terkadang kena tilang dan terkadang membayar uang takut. Meskipun kadang tertekan, aku selalu berusaha untuk tidak patah arang.” jelasnya lagi sedikit tertahan.
“Kalau untuk di jembatan timbangan, abang bayar berapa..?” tanyaku lagi
“Kalau di paparan tanah minang ini, jembatan timbangan yang ku lewati sebanyak empat titik, masing-masing titik, petugasnya telah aku sogok, supaya aku tidak kena tilang. Di jembatan timbangan Lubuk Buaya berbeda pesona. Ku timpa dengan kertas kecil berbentuk seperti kertas kupon” jelasnya sembari memperlihatkan kertas kupon berwarna putih.
“Kok pakai kertas kupon, gak ngerti aku bang..? tanyaku berlagak tidak tahu.
“Ceritanya begini dek.., Aku telah membayar dalam bentuk uang kepada seorang oknum Polisi. di salah satu rumah makan terletak di jalan by pass itu. Setelah ku bayar, aku dikasih kertas berbentuk seperti kertas kupon, lalu aku serahkan ke petugas jembatan timbangan itu. Kawan aku sesama supir bernama Simamora, warna kuponnya tak sama dengan aku, karena oknum Polisi yang mengkondisikannya berbeda orang, kertas kupon yang dia terima berwarna pink” selorohnya kepadaku.
“Ooh… begitu bang” sahut Budi geleng-geleng kepala.
“Kepala jembatan timbangan ini, aku sudah pernah melihat wajahnya. Dulunya aku ketemu dia, dirumah makan tempat aku ambil kupon, saat itu dia berbicara dengan oknum Polisi yang memberi aku kertas kupon ini. Nama yang cukup aneh ditelingaku. Setahuku kalau dijakarta, Bajai adalah kendaraan pengangkut penumpang, tapi kalau disini..? bikin aku kebingungan” seloroh sang supir lagi.
“Oke lah dek… aku mau cabut dulu, nanti aku bisa terlambat” lanjutnya menyudahi percakapan.
Kami berdua saling bersalaman dengan supir itu, “Selamat jalan bang, mudah-mudahan sampai ke tujuan” ucapku mendoakannya.
Kami pun kembali ke warung pak gaek, mengambil motor Yamaha Vixion yang ku parkir. Budi dengan Yamaha Metic nya. Kami sepakat untuk pulang kerumah masing-masing. Saat aku mulai menstater motor ku, tiba-tiba sebuah motor honda bebek, merek supra fit mendadak berhenti disebelahku. Kepala ku langsung menoleh, begitu ku lihat. Wajah sipengendara tidak asing lagi bagiku. Penampilanya yang selalu terlihat necis, membuat banyak kawan-kawan menjadi segan kepadanya.
Dia adalah Indra Leo, seorang wartawan senior Kota Padang. dikenal idealis dengan pemberitaannya di era orde baru dulu . Meskipun umurnya hampir mendekati kepala enam, gaya dan penampilannya terlihat masih muda. Itulah sekilas begruond tentang Indra Leo.
“Maaf da In, kami berencana mau pulang. Sebenarnya kami butuh da in untuk kita berdiskusi, tapi karena udah magrib kami harus pulang. Gimana kalau besok siang kita ketemuan di warung soto tempat biasa..?”. ucapku ke dia.
“Diskusi tentang apa Mal..?” selanya balas bertanya.
“Biasalah da In, seputar aktifitas di jembatan timbangan itu termasuk sosok tentang Bajai” sahutku.
“Ooh.. kalau soal dia mah kita semua di sini sudah pada tahu. Mana ada yang suka Bajaj. Pimpinan yang masuk sesukanya, sombong dan angkuh, parlentenya minta ampun. Segudang kalimat busukku buatnya deh Mal”, ujar Indra Leo sembari berjalan menuju warung pak gaek itu.
“Okelah da In.. sampai ketemu besok” tutur ku langsung meninggalkannya.
Dalam perjalanan menuju pulang, diatas motor yang ku kendarai. Otak ku berfikir “segudang kalimat busuk tentang dia”. Membuat aku jadi penasaran… bersambung..