By: Yohandri Akmal
Disela keseriusan kami berdiskusi. Dari kejauhan terlihat seorang bapak tua parlente, dengan langkah kaki sedikit lunglai. Tubuh kurus tinggi semampai. Perlahan-lahan muncul semakin dekat dipandanganku. Hitungan menit, sosok tubuh kurus itu semakin mendekati tongkrongan tempat kami diskusi. Begitu satu meter didepanku, bangku kosong disebelah kanan Budi langsung didudukinya. Dengan pandangan mata tak berkedip, ia menatapku sambil tersenyum. Wajah bapak ini sangatlah ku kenal, kumis tebal tumbuh lebat diatas bibirnya.
Sewaktu aku kecil dulu, dia sering menakut-nakuti ku dengan kumis hitamnya itu, kumis ini mirip kumis Pak Raden. Begitu kumis itu ku pandang, membayangi pikiranku ke masa lalu. Dulunya, sewaktu aku masih kecil (SD), kerap dipelintir dihadapanku, membuat aku acap kali ketakutan dibuatnya. Terkadang aku lari terbirit-birit karenanya. Nama bapak berkumis ini, sangat top untuk dikecamatan Koto Tangah. Metek Jenggo, itulah sebutan orang memanggilnya.
Menurutku, Metek Jenggo lebih memahami seluk beluk aktifitas di jembatan timbangan itu. Mulai dari kelebihan muatan, warna kupon sakti sang supir itu. Darimana kupon tersebut didapati, dan siapa orang dibelakang permainan kupon, hingga kepribadian para petugas timbangan, pun Metek Jenggo mengetahuinya.
Begitu Metek Jenggo mendengarkan apa yang sedang kami diskusikan. Spontan saja, dia langsung ambil peran. Setahuku, Metek Jenggo telah puluhan tahun mangkal di jembatan timbangan itu. Dengan santainya, ia pun mulai menceritakan sepak terjang disana.
“Masing-masing supir, menyerahkan kupon dengan warna yang berbeda-beda, tergantung siapa oknum pengurus dibalik sang supir truk angkutan itu” tukasnya.
Kupon sakti sang supir, diterima masing-masing supir sebelum kendaraannya memasuki jembatan timbangan itu. Dengan catatan, kupon tersebut di ambil supir ditempat yang telah ditentukan. Dikondisikan oleh oknum Aparat Polisi. Warna kupon sengaja dibedakan, bertujuan untuk memudahkan para petugas jembatan timbangan, mengetahui pengurus atau oknum Aparat yang berada dibelakang sang supir. “Lebih jelasnya, oknum Aparat yang membekingi para supir tersebut” pungkas Metek Jenggo.
Mendengar penjelasan singkat dariku dan metek jenggo, membuat budi menjadi terpelongok ternganga, sambil menggaruk-garuk kepala layaknya tayangan sebuah iklan pria tanpa rambut.
Suasana hari sudah semakin sore, keseriusan kami berdiskusi seakan tak memikirkan waktu. Tanpa diduga terdengar suara kesal seorang petugas jembatan timbangan, muncul tiba-tiba didepan warung tempat kami bercengkrama. Sembari mengerutu, ia pun mengoceh sendiri dengan bahasa ditekan.
Saking tertegunnya, diskusi kami bertiga terpaksa terhenti sejenak. Beralih mendengarkan keluhan seorang petugas jembatan timbangan itu. Wajahnya tak asing lagi bagi Metek Jenggo. Tanpa mengacuhkan keberadaan kami, dia terus menggerutu sendiri.
Pusing kepala saya, setiap supir yang datang selalu menyerahkan kupon, emangnya saya ini tukang kumpulin kupon, “Kalau takah iko taruih kapalo den bisa angeek dibueknya” (kalau begini terus kepala saya bisa panas dibuatnya). Keluhnya, sembari membeli rokok kepada pemilik warung.
Selepas permintaannya diserahkan pak gaek pemilik warung. Dia pun putar badan, balik bertugas tanpa menghiraukan kami bertiga.
Langkah kakinya terlihat lemas, tidaklah seperti biasanya. Semakin kuperhatikan, makin membuat hatiku berkata-kata. Sela Metek Jenggo.
Setahuku, sosok petugas ini. Memiliki kepribadian yang cukup baik. Kebiasaan sabar yang dipunyai, begitu juga loyalitasnya yang sangat tinggi, membuat kawan-kawannya menjadi simpatik kepadanya. Bagiku, karakternya yang paling menonjol adalah terkenal penyabar. Dipikiran ku. Kenapa tiba-tiba dia begitu sangat kesal. Sebut Metek Jenggo ke aku, dengan wajahnya yang tampak penasaran.
Maklumlah Metek, seperti yang dikatakan tadi itu. Jika setiap supir menyerahkan kupon terus, tentulah dia menjadi kesal, karena yang lebih di untungkan adalah para oknum Aparat Polisi yang mencetak kupon sakti tersebut. Sementara petugas timbangan itu hanya mendapat ampasnya saja, jelas ku ke dia.
Eiit.. jangan souzon dulu bang, bujuk Budi menyalip ucapanku.
Jangan-jangan..?, gerutu dia tadi itu. Berbuah kesal, mungkin karena kupon sakti tersebut tidak bisa di uangkan. Jadi dalam hal ini, yang di untungkan adalah oknum Aparat yang mengkondisikan kupon tersebut. Sorong budi seakan-akan, dialah yang paling hebat.
Yaach.. pikiran polos mu makin menjadi-jadi deh Bud. Kayaknya, telmi (telat mikir) mu mulai kambuh nih. Yang aku maksudkan tadi itu, yaa itu..? gerutu ku bersahutan mulut.
Eiit… Cooy..! ada yang lebih menarik dari diskusi kita ini, sentak Metek Jenggo mengenengahi.
Apa itu Metek..?, ….. Bersambung.