Jakarta, targetsumbar.com – Miryam Haryani, tersangka kasus e-KTP sempat buron sebelum akhirnya berhasil ditangkap. Dalam pelariannya, Miryam berpindah-pindah tempat untuk mengecoh pihak kepolisian. Diduga ada pihak yang sengaja membantu Miryam untuk bersembunyi. Namun, pelarian Miryam berakhir dengan penangkapnya di Grand Kemang Hotel, Jakarta Selatan, dini hari tadi oleh polisi, Senin (01/05).
Ada pihak yang tak terima dengan pengusutan Miryam sebagai tersangka kasus e-KTP, berbagai cara dilakukan untuk menghambat penyidikan. Seperti yang terjadi pada hari Jumat (28/4/2017), saat sidang paripurna penutupan masa sidang DPR RI. Melalui ketokan palu dari tangan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin sidang paripurna, usulan hak angket terhadap KPK disetujui.
Namun acara tidak berjalan lancar, sejumlah protes dilayangkan oleh beberapa anggota yang tidak setuju dengan keputusan sidang. Mereka yang merasa tak sependapat dengan Fahri melakukan walk out secara beramai-ramai.
Hal ini dipicu karena adanya ketidakjelasan jumlah anggota sidang. Hingga pengesahan hak angket, pimpinan sidang tidak pernah membuka ke publik berapa jumlah anggota yang sudah meneken hak angket. Padahal, agar hak angket bisa ditindaklanjuti ada persyaratan jumlah anggota yang harus dipenuhi.
Wacana usulan hak angket bergulir dari kasus megaproyek e-KTP yang merugikan negara hampir Rp 2,3 triliun. Kasus ini menyeret banyak anggota DPR, salah satunya anggota Fraksi Hanura, Miryam S Haryani. Miryam sudah dipanggil bersaksi dalam sidang kasus tersebut.
Dalam kesaksiannya, Miryam menyebut diancam oleh penyidik KPK agar menyebut anggota DPR yang terlibat. Namun penyidik KPK Novel Baswedan, justru mengungkap Miryamlah yang diancam rekan-rekan anggota Komisi III agar tak menyebut nama-nama anggota DPR yang terlibat kasus e-KTP.
Menurut Novel, Miryam memang menyebut nama-nama anggota DPR yang menekan Miryam. Penyidik bahkan menggunakan mesin pencari (Google) untuk memastikan anggota DPR yang dimaksud Miryam dalam pemeriksaan di KPK.
“Pada saat itu seingat saya yang disebut saksi, Aziz Syamsuddin, Desmon Mahesa, Masinton Pasaribu, Sarifudin Suding. Satu lagi saya lupa dia sebut nama partainya kemudian minta penyidik buka di internet untuk memastikan di komisi 3 dari partai itu siapa saja,” papar Novel.
Dari mesin pencari, Miryam kemudian memastikan anggota dewan yang menurutnya ikut menebar ancaman. Total ada 6 anggota DPR yang menekan Miryam soal kasus ini.
“Jumlahnya 6 orang,” sebut Novel.
Namun dalam persidangan justru Miryam menuduh KPK melakukan tekanan pada dirinya. Bahkan Miryam juga mencabut BAPnya dan menolak sejumlah panggilan yang diajukan KPK. Tak butuh berlama-lama KPK akhirnya menetapkan Miryam sebagai tersangka atas laporan palsu yang telah dibuatnya dalam persidangan.
Komisi II dan III adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas kasus mega korupsi e-KTP tersebut. Sebagaimana kita tahu, komisi II adalah salah satu dari sebelas Komisi DPR RI dengan lingkup tugas di bidang dalam negeri, sekretariat negara, dan pemilu. Sedangkan komisi III dengan lingkup tugas di bidang hukum, hak asasi manusia, dan keamanan. Tak tanggung-tanggung, hampir semua pejabat di komisi II maupun III diduga mendapat bagian dari penyalahgunaan dana e-KTP.
DPR merasa gerah dengan pernyataan Novel tentang tuduhannya memberi tekanan kepada Miryam terkait kasus ini. Mereka mulai menyusun sekenario untuk melawan KPK. Dengan alasan yang dibuat-buat, mereka sengaja ingin memojokkan KPK melalui hak angket. Dengan menggunakan hak angket, DPR meminta kepada KPK untuk membuka rekaman hasil BAP di ruang sidang.
Padahal sudah jelas, tanpa disuruh pun hal itu nantinya juga dibuka oleh KPK untuk mengklarifikasi atas laporan palsu yang dibuat oleh Miryam. Seharusnya sebagai pihak yang membidangi hukum, DPR sudah cukup paham terhadap pengajuan hak angket atas kasus Miryam. Munculnya hak angket, justru semakin memperlihatkan tidak adanya komitmen DPR terhadap pemberantasan korupsi di tanah air.
Sontak saja, hal ini memantik reaksi publik, tak terkecuali dari kalangan akademisi. Guru besar Universitas Krisnadwipayana Prof Indriyanto Seno Adji menyebut rekaman Miryam S Haryani berkaitan dengan proses penyidikan kasusnya adalah wewenang penuh KPK. Rekaman itu disebut Indriyanto bersifat rahasia.
“Rekaman Miryam adalah wewenang penuh KPK atas penyelidikan dalam rangka penegakan hukum yang sifatnya secrecy dan tertutup. Proses pra-ajudikasi, baik penyidikan, penyidikan, dan penuntutan, secara universal adalah rahasia dan tertutup,” ujar Indriyanto dalam keterangannya, Sabtu (29/4/2017).
Menurut Indriyanto, KPK harus dipahami sebagai lembaga independen dengan proses hukum yang harus terbebas dari segala bentuk intervensi. Dengan demikian, rekaman tersebut baru bisa dibuka KPK di muka pengadilan atas perintah hakim.
“Dengan pemahaman KPK sebagai lembaga penegakan hukum yang independen dan proses hukum terhadap teknis perkara harus clean and clear dari intervensi, sebaiknya KPK memiliki otoritas untuk tetap menolak membuka rekaman Miryam di DPR dan hanya bisa dilakukan di pengadilan atas perintah hakim dengan pertimbangan for the interestof justice,” ucap Indriyanto.
Namun kini DPR mengajukan hak angket terhadap KPK. Indriyanto menyebut upaya itu malah bisa disebut sebagai bentuk pelanggaran hukum atas berjalannya sistem peradilan pidana.
“Justru kehendak DPR dengan hak angket untuk membuka rekaman Miryam adalah contempt ex facie sebagai bentuk pelanggaran hukum atas berjalannya sistem peradilan pidana, karena itu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menempatkan bab khusus yang terkait contempt of court, antara lain Pasal 21 (obstruction of justice) dan Pasal 22 (pemberian keterangan tidak benar atau palsu). Bagi saya, perbuatan DPR dengan dalih hak angket terhadap suatu kasus yang sedang berjalan adalah bentuk obstruction of justice,” papar Indriyanto, yang juga mengajar di Universitas Indonesia (UI).
Discussion about this post