Oleh : Budi Gunawan “Jeritan dari Kaki Bukit Karang Putih”
Karang putih semakin hari kian habis terkikis, miris! Benar-benar miris! Air mata mereka mengucur seiring turunya hujan, sumur yang dahulu bersih sekarang berkapur. Mereka takut longsor, meraka takut banjir dan mereka takut kehilangan kampungnya.
Hidup dipantaran tebing melandai membuat mereka berandai-andai berharap tidak akan runtuh, andai saja bisa. Semenjak bukitnya diperkosa, mereka hanya bisa menikmati ketakutan. Penghuni macam apa mereka? Begitu sabarnya, begitu ihklasnya, menyumpahpun tak berarti sehingga pasrah menjadi keseharian hidup yang dijalani. Apakah hidup dalam ketidak nyamanan itu hidup? Apakah telinga dipekakan gemuruh dinamit itu hidup? Apakah menghisap debu kapur itu hidup?
Para pengikis beraksi di puncak dan mereka meratapi di bawah tepiran ketakutan yang kian mendalam. Detak jantung mereka lebih kencang dari pada kita oleh karenanya mereka selalu berhati-hati menunggu datangnya bencana itu.
“Bukit Habis Negerinya Binasa”, itulah ungkapan yang tepat untuk mereka. Penguasa tak berupaya berikan penyelamatan kepadanya, biarlah hanyut diterjang air asalkan karang tetap menuaikan hasil, mungkin itulah kata penguasa. Entah musibah buatan Tuhan entah musibah buatan manusia, entahlah?
Kamipun bertanya, manusia macam apa anda? Kenapa masih bertahan disini? Mengapa tidak pergi? Mereka menjawab”ini kampung kami, lebih dulu adanya dari pada mereka yang datang, dulu kami bahagia bersawah sekarang sudah tidak”, kata mereka.
Mereka menjerit kepada setiap yang datang namun hanya sampai disitu saja, menjerit ya menjeritlah tapi jangan harapkan ada perubahan. Jeritan dari kaki bukit karang putih….Bersambung.