Target Sumbar – Melanjutkan petikan wawancara mama Aleta dengan wartawan tentang kisah perjuangannya melawan dan mengusir perusahaan tambang yang mengeruk kekayaan alam di negeri leluhurnya. Menjadikan ia dikenal dimata dunia dengan dibuktikan penghargaan yang diterimanya di Fransisko, Amerika serikat.
Wartawan : Kapan perjuangan anda mulai menampakkan titik terang dan perusahaan hengkang?
Mama Aleta: Saat protes sambil menenun, warga pun makin banyak yang ikut mendukung. Kami terus berjuang, meminta pada pemerintah agar mencabut izin tambang perusahaan tersebut dan meminta perusahaan untuk tidak merusak hutan kami. Sehingga pada tahun 2007, mulai menampakan hasil. Aksi-aksi warga mulai menjadi perhatian pemerintah. Memang melalui perjuangan panjang. Pada tahun 2010, karena terus menghadapi tekanan dari kami sehingga sebanyak 4 perusahaan pertambangan yang ada di Molo tanah leluhur kami, akhirnya menjadi berhenti.
Wartawan: Apakah izin-izin perusahaan itu dicabut pemerintah?
Mama Aleta: Saya tidak tahu pasti. Karena pemerintah terlihat kacau dan perusahaan-perusahaan yang memperkosa negeri itu juga kacau. Jadi saya tidak tahu, apakah itu izin perusahaan itu dicabut atau tidak. Tetapi yang kami tahu, adalah para pelaku tambang tersebut tidak ada lagi yang operasi karena kami terus menolak dan menentangnya.
Wartawan: Saat para perempuan menduduki kawasan tambang sambil menenun, bagaimana peranan pria Molo mendukung gerakan ini?
Mama Aleta: Dalam kebudayaan Molo, kaum perempuan diharapkan menjadi ibu rumah tangga dan merawat keluarga. Namun saat kami protes, kaum perempuan sadar mereka dapat melakukan lebih banyak. Kaum perempuan juga pemilik tanah yang sah dalam kebudayaan Molo. Hak ini kami bangkitkan kembali bagi kaum perempuan yang saat itu belum aktif mengungkapkan pendapat guna melindungi tanah mereka.
Suku adat Molo yakin, amatlah penting bagi kaum perempuan berada di garis depan protes dan berperan sebagai juru perunding. Kamilah yang memanfaatkan hutan untuk bertahan hidup. Kaum pria mendukung kami, namun tidak menempatkan diri di garis depan karena kemungkinan besar mereka akan terlibat dalam perkelahian atau konflik dengan perusahaan-perusahaan pertambangan dan menjadi target serangan. Jadi apabila perempuan melakukan aksi protes, para pria berperan di rumah tangga, mulai dari memasak sampai menjaga anak-anak.
Wartawan: Sekarang tambang sudah pergi, perempuan terus mengembangkan tenun sebagai warisan budaya dan sumber ekonomi. Bagaimana perkembangan kegiatan menenun saat ini?
Mama Aleta: Saat ini makin banyak perempuan yang ikut menenun. Namun, sempat ada ketergantungan dengan benang-benang kota, benang-benang produksi dari perusahaan besar. Jadi, penenun tergantung dari perusahaan.
Wartawan: Setelah perjuangan panjang ini, apa harapan Mama Aleta?
Mama Aleta: Harapan saya, para perempuan kembali pada pengetahuan lokal yang dimiliki dan mencintai lingkungan. Kepada pemerintah, saya berharap agar mampu mengelola, melindungi dan tak menghancurkan lingkungan dan alam ini hanya karena keuntungan semata. (**)