Oleh: Yohandri Akmal
Demokrasi teknologi melejit, menyebabkan eforia informasi demokratis kebablasan. Sebab, kondisinya setiap orang mudah memiliki kesempatan bermedia, sehingga mereka bebas mengeluarkan opini tanpa peduli etika serta semangat dalam membangun bangsa, dengan gamblang.
Yang kita rasakan sekarang ini adalah minimnya ketertarikan insan pers menggiring opini bernuansa agama, perkembangan akhlak generasi dan sejenisnya. Dominannya, wartawan lebih sibuk tentang tuduhan dan tudingan di dalam tubuh pemerintahan. Secara majemuk, kaum jurnalis lebih tertarik pada polemik politik dibandingkan meliput prestasi membangun bangsa, penyatuan umat, dan seterusnya.
“Sedikit kesalahan digilas habis, prestasi kecil diapung setinggi langit, tergantung jumlah materi” –Yohandri Akmal —
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) paten disebut “harga mati”. Tentunya, insan pers lebih mampu berinisiatif menggiring polemik yang terjadi supaya bersifat non-propaganda. Caranya, dengan mengembangkan dan mengimbangkan opininya lebih mengarah kepada pola akhlak generasi bangsa menjadi lebih baik. Esensinya, paradigma generasi akan terarah dalam kesemrautan kemajuan teknologi yang sudah tak terkendali meracuni pikiran mereka.
Sepertinya sekarang ini wartawan idealis terkesan langka, pastinya media independen yang mengolah informasi berkualitas tanpa ada monopoli kepentingan kelompok tertentu. Pasalnya, informasi yang sering disuguhi ke publik hanyalah pola pemberitaan pikiran negative (mengarahkan), serta kecurigaan yang tidak berdasar.
Saat ini, kebanyakan informasi hanya berisikan saling tuduh, provokatif, saling menyalahkan dan tidak solutif. Sudah saatnya, masyarakat mengharapkan sosok profesi jurnalis idealis, teknokrat atau ilmuwan yang belum terpolitisir, membantu perubahan lebih baik itu. Namun, hanya saja mereka “sudah langka”.
Tampaknya ideologi jurnalistik semakin tergadaikan oleh kepentingan bisnis media, kepentingan pemilik modal yang terkait dengan kehidupan politik. Tipisnya independensi media paling banyak dijumpai dalam berita politik, hukum dan sosial. Sumber utama kekisruhan informasi adalah pengaruh kepentingan politik yang merasukinya.
Saat ini eforia demokrasi dapat dilakukan oleh siapapun yang memiliki media, akibatnya sering lakukan pemberitaan non-fakta demi latar belakangnya. Terlihat, dari jarangnya berita yang terpublis secara fair. Dampaknya, sebuah keberhasilan tidak terekspos dengan baik karena pengemasan berita itu dianggap tidak penting. Kalaupun ada, biasanya didominasi oleh kritikan dan pesan yang pada akhirnya tidak fundamental di mata publik, karena sifatnya sentimen.
Ironisnya, sebagian pengamat politik sebagai narasumber berkualitas, sepertinya juga ikut-ikutan terkontaminasi oleh kepentingan pemain di negara ini. Justru mereka itulah yang seringkali dimanfaatkan dan sarat dengan kepentingan tertentu. Sudah barang tentu narassumber berkualitas idealis, juga langka.
“Pegkritik itu seperti gula, kalau ga dijaga, dikerubungi semut” – Budi Gunawan —
Semoga saja fenomena semacam ini, tidak terus terlarut dan berlarut. Sudah saatnya kita bersama bangkit membangun bangsa, memperkuat NKRI demi masa depan anak cucu kita kelak.