Oleh: Imam Sodikin
Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa. Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.
Pembangunan bangsa tidak mungkin maju kalau hanya mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya. Sehebat apapun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ditangani oleh manusia dengan salah kaprah, tentunya tidak akan membawa kesejahteraan. Bilamana salah dalam pengelolaan negara, maka akan membawa bencana besar nasional.
Kita melakukan amandemen atas UUD 1945, membentuk sejumlah komisi independen, melaksanakan otonomi daerah. Dan kita telah banyak memperbaiki sejumlah undang-undang nasional dan daerah. Kita juga sudah melaksanakan pemilu secara berkala di tingkat nasional/daerah. Kesemuanya ditujukan dalam rangka perbaikan pengelolaan negara yang demokratis dan akuntabel.
Sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru yang masih berlangsung sampai sekarang. Mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri.
Kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa di antaranya bahkan semakin merajalela di alam Indonesia yang katanya lebih reformis.
Korupsi merupakan faktor utama yang bisa membawa bangsa ini ke ambang. Terlepas dari sepak terjang dan kerja keras KPK mengejar para koruptor. Namun praktik korupsi tetap saja terus berlangsung, malah gejalanya semakin luas.
Demikian juga sifat intoleransi yang tumbuh subur di tengah kebebasan yang dinikmati masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang pesat malah memacu sifat kerakusan dan keinginan sebagian masyarakat untuk cepat kaya sehingga menghalalkan segala cara, termasuk lakukan pelanggaran hukum.
Jelas reformasi yang hanya menyentuh faktor kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk menghantarkan Indonesia ke arah cita-cita bangsa seperti diproklamasikan oleh para pendiri bangsa. Apabila kita gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis, semua keberhasilan reformasi ini bisa berujung lenyap bersama kehancuran bangsa.
Saatnya kita berbenah diri, jangan ada lagi mental pejabat nan bobrok. Mari bersatu membangun bangsa demi tercapainya cita-cita reformasi.