Menjadi jurnalis bukan berarti hak politiknya tercabut. Ia boleh menyalurkan hak pilihnya pada calon legislator partai tertentu. Yang tidak diperbolehkan ialah merangkap menjadi pengurus partai.
Kalau sudah mau berpolitik praktis, jelas urusannya. Ia mesti menanggalkan baju jurnalisnya. Mengapa? Sebab, kalau sampai ia masih menjadi jurnalis akan ada konflik kepentingan.
Sebagai aktivis partai, ia pasti memberitakan keharuman partainya. Padahal partai berorientasi kekuasaan. Dan saat berkuasa, mengutip Lord Acton, cenderung korup atau menyeleweng. Apakah mungkin ia masih mau menulis kebobrokan partainya sendiri?
Maka, di beberapa media, aturannya tegas. Pilih aktif di partai atau terus sebagai jurnalis. Meski demikian, yang sembunyi-sembunyi pun ada. Kalau ditanya aktif tidak di partai, ia cuma menjawab “cuma fans saja, bantu-bantu sedikit”.
Soal jurnalis alih profesi jadi politikus, tidak ada masalah. Di DPR ada banyak legislator yang bermula dari jurnalis. Ada Ramadhan Pohan dari Demokrat yang bekas Pemred Jurnal Nasional (Jurnas), ada Effendi Choirie dari PKB, Teguh Juwarno asal PAN adalah bekas jurnalis televisi, Meuthia Hafid dari Golkar adalah jurnalis andalan Metro TV.
Di skop daerah juga bertebaran anggota dewan yang mengawali kiprah di masyarakat dari jurnalis. Bahkan, beberapa kepala daerah juga awalnya wartawan.
Discussion about this post