Oleh: Dr. Emeraldy Chatra
Curhat seorang lulusan perguruan tinggi di Sumbar yang saya baca di grup WA Club Menulis membuat saya ingat peristiwa awal tahun 2000an. Sekali waktu saya bicara kepada seorang mahasiswa yang dalam pengakuannya ia terlalu lama menyelesaikan strata satunya (S1). Dari dia saya tahu bahwa ia kuliah sembari menjadi sopir angkot. Saya nasehati, “korbankanlah waktumu sedikit biar cepat tamat”.
Dia mematuhi saran saya. Ia tinggalkan angkot dan serius mengerjakan skripsinya. Selang tidak terlalu lama, ia pun tamat (mampu menyelesaikannya dengan baik).
Beberapa tahun kemudian kebetulan saya berdiri bersama dia dalam antrian saat membayar telepon. Ia di belakang saya. Saya tanya, “Apa kerjamu sekarang?”
Ia jawab, “Itulah, apak suruh juga saya cepat tamat. Sudah berapa tahun ini tetap saja tidak dapat kerja. Tetap saja jadi sopir angkot”.
Jawaban enteng itu rasa sembilu menusuk dada saya. Saya benar-benar merasakan ngilunya. Apa artinya selama ini saya bekerja sebagai dosen? Mencetak pengangguran? Mencetak orang-orang yang tidak kebagian kesempatan kerja? Saya pun merasa apa yang saya lakukan dalam profesi saya hanya kesia-siaan.
Saya menyadari, soal lapangan kerja bukan ranahnya dosen. Dosen hanya berusaha mentransfer pengetahuan yang ia miliki kepada mahasiswa. Menyoal apa yang dapat dilakukan oleh mahasiswa itu kelak setelah tamat, itu urusan berbeda. Namun secara moral dosen seharusnya tetap merasa punya tanggung jawab. Untuk apa mentransfer ilmu kalau kelak ilmu itu tidak terpakai? Itu kesia-siaan.
Atas ‘penyelasan’ itulah saya kemudian mendirikan sebuah rumah produksi, yakni membuat sinetron dan film-film dokumenter. Saya merekrut sarjana-sarjana baru untuk dididik menjadi film maker. Perusahaan itu bertahan hanya lima tahun.
Pertanyaannya mengapa perusahaan itu tutup? Sarjana-sarjana yang dulu saya didik dari nol ternyata berubah jadi pengkhianat. Mereka melakukan fraud, membuat perusahaan dalam perusahaan ketika saya lebih banyak berada di Jakarta untuk sebuah pekerjaan.
Sekali lagi saya dihantam dengan sembilu. Ngilu.
Akhirnya saya berpikir, soal ketenagakerjaan ini tidak melulu soal ketersediaan lapangan kerja. Tapi juga soal akhlak. Bahasa kerennya, karakter.
Artinya, kalau pun lowongan kerja banyak, belum tentu lowongan itu dapat menampung semua orang yang butuh pekerjaan. Pemberi kerja tidak akan mempekerjakan manusia dengan karakter buruk. Pemberi kerja lebih senang pekerja yang loyal dan komit. Bukan sarjana pintar tapi khianat.
Dari statistik pemutusan hubungan kerja saya tahu ternyata kebanyakan orang dipecat dari pekerjaannya bukan karena kurang pintar. Tapi karena punya karakter buruk. Termasuk di dalamnya tidak jujur dan yidak disiplin.
Sayang sekali pendidikan karakter ini tidak populer di perguruan tinggi. Perguruan tinggi masih berkutat dengan ilmu pengetahuan dan perolehan nilai mata kuliah yang tidak melibatkan aspek karakter. Oleh sebab itu jangan heran kalau mahasiswa yang suka nyontek dari semester satu sampai semester akhir dan tidak mampu berkomunikasi dengan baik bisa juga jadi sarjana. Di negara maju tidak ada celah untuk perbuatan curang seperti menyontek. Sudah pasti mereka dikeluarkan.
Discussion about this post