Oleh : DR. Emeraldy Chatra
Tadi saya bercerita panjang dengan seorang kerabat yang jadi pejabat tinggi di Jawa. Sebutlah nama kerabat itu Mahyuddin. Ia dulu pernah cukup lama berdinas di Sumbar, tapi sejak 15 tahun yang lalu pemerintah pusat memindahkannya ke luar Sumatra Barat.
Selama berdinas di luar Sumbar ia sudah beberapa kali mendapat penghargaan karena prestasinya. Ia pun merasa sangat dihargai oleh bawahan yang mau bekerja mati-matian membantunya mewujudkan berbagai rencana.
Bagian dari obrolan kami yang menarik berada di seputar budaya. Ia merasa lebih mudah melaksanakan pekerjaan di luar Sumbar. Walaupun cukup lama berdinas di Sumbar ia merasa tidak menggoreskan prestasi apa-apa. Bagaimana tidak, ia tidak punya kawan yang benar-benar dapat diajak bekerja sama.
“Di Sumbar ini teman banyak, kawan tidak ada,” katanya. Teman itu istilah lain dari kenalan saja. Mereka hanya suka kalau diajak ngopi-ngopi atau maota (bercerita) kehilir ke mudik. Tapi kalau diajak bekerja sama, semuanya menjauh.
Sebagian dari mereka bukan hanya sekedar menjauh. Di belakang mereka berubah jadi srigala yang siap menerkam. “Paling tidak mereka pasif, tidak akan membela ketika kita dijelek-jelekan orang lain. Sebagian bahkan ikut pula menambah bumbu keburukan sehingga fitnah tentang kita berkobar dimana-mana,” kata Mahyuddin.
Di Jawa, kesetiaan bawahan itu benar-benar terasa. Di Sumbar, jangan pernah berharap seperti itu. Bawahan hanya bermanis muka di depan atasan. Di belakang atasan mungkin mereka berdoa agar atasannya cepat mati.
Saya katakan kepada Mahyuddin, cerita seperti itu sudah banyak dan sudah sejak dulu saya dengar. Di Sumbar ini kebanyakan orang merasa hebat, merasa pintar dan tidak merasa perlu untuk ‘berbakti’ kepada orang lain.
Dalam melihat orang lain biasanya faktor kelemahannya yang dikaji, bukan kelebihannya. Jadi tidak heran di negeri ini ada istilah ba cik lalek di bibia yang artinya tidak akan mengatakan yang baik-baik tentang orang lain. Di sisi lain, kehebatan orang lain itu tidak penting. Kok hebat, hebatlah. Apo urusan den?
Saya pun akhirnya mengakui, saya tidak punya kawan selain istri saya. Istri itu satu-satunya kawan yang membantu saya saat sulit, gundah, sakit, atau kecewa. Ia pula yang satu-satunya orang yang dapat diajak bekerjasama, yang tidak meninggalkan saya sebelum pekerjaan selesai.
Beberapa orang yang pernah saya anggap kawan ternyata kemudian meninggalkan dan mengkhianati saya. Beberapa pekerjaan saya hancur karena pengkhianatan orang-orang yang sudah dianggap kawan.
Kondisi seperti itu bukan hanya menciptakan orang-orang kesepian, orang-orang tak berkawan. Lebih jauh lagi, kondisi seperti ini tidak mudah melahirkan pemimpin yang dapat penghormatan dari lubuk hati paling dalam. Kalaupun ada yang disebut pemimpin, penghormatan atas mereka lebih karena mereka punya uang atau jabatan. Setelah uang dan jabatan itu habis, mereka tidak lagi dihormati.
Oleh sebab itu, jangan heran bila kita temukan banyak mantan pejabat di Sumbar memilih tinggal di luar Sumbar setelah pensiun. Belum lama ini saya mendengar ada pejabat tinggi yang mengatakan ia tidak akan di Sumbar lagi kalau selesai menjalankan tugas. Bagi saya, itu hanya perulangan dari kejadian-kejadian sebelumnya.
Mengapa orang Sumbar kebanyakan punya karakter seperti itu? Saya belum bisa memberikan jawaban. Pasti banyak faktor yang mempengaruhi.
Sesuatu yang dapat dipastikan, karakter seperti itu tidak berdampak positif kepada kehidupan masyarakat. Kita akan tetap menjadi masyarakat yang lemah dan gagal mengorganisasikan kekuatan. Setiap ada yang mau berdiri di depan akhirnya harus bekerja sendiri, sementara yang lain cuma sato sakaki . Itu sudah baik, karena sebagian justru sato mangaki sehingga sang pemimpin jadi tajirangkang sendiri.
Discussion about this post